Judul | : | POLITIK, MEDIA MASSA, DAN KEBOHONGAN | |||
Abstrak | : | Konon, butuh sebuah bakat untuk bisa menjadi pembohong yang baik. Bagi yang berbakat, cara bicaranya serba meyakinkan dan omongannya selalu dipercaya orang. Peralatan lie detector pun mungkin akan kerepotan untuk mendeteksi orang seperti ini. Jika memang tidak berbakat, tidak perlu coba-coba berbohong. Orang akan mudah untuk mendeteksinya, mulai dari mimic wajah, nada suara maupun konsistensi cerita. Apalagi, jika kebohongan yang diciptakan tidak masuk logika. Padahal, berbohong itu seperti halnya bernyanyi. Ada orang-orang yang dari ‘sononya’ memang sudah memiliki suara bagus serta seimbang antara bass dan treble-nya sehingga mahir dalam bernyanyi. Ada pula orang yang memiliki kualitas suara pas-pasan, namun bisa menyanyi bagus karena giat berlatih. Demikian pula dengan berbohong. Seseorang bisa menjadi penipu ulung dengan cara berlatih dan belajar. Bahkan, cara berbohongnya kian ciamik dengan menggunakan sebuah perencanaan yang matang. Salah satu tekniknya –bukan untuk mengajari– berbohonglah dengan balutan informasi yang benar di awalnya. Informasi yang benar akan selalu logis, sehingga bisa merasuk ke pikiran orang. Setelah itu, barulah kebohongan-kebohongan disisipkan sedikit demi sedikit. Itu sebabnya, Alferd Lord Tennyson mengatakan bahwa Kebohongan yang setengah kebenaran merupakan kegelapan dari semua kebohongan. Orang semakin sulit untuk menemukan letak-letak kebohongannya. Pada akhirnya, campuran antara kebenaran dan kebohongan itu dianggap seluruhnya benar. Media BBC, pada November 2017 kemarin menulis sebuah artikel berjudul The Devious Art of Lying by Telling the Truth. Artinya kira-kira adalah seni berbohong dengan mengucapkan hal yang jujur. Artikel ini cukup relevan dengan quote milik Alferd Lord Tennyson. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Mengelabui orang lain dengan ''menyatakan hal yang benar'' kini sudah jamak di masyarakat. Itu sebabnya muncul istilah baru yang disebut paltering atau kalau diterjemahkan artinya mempermainkan kebenaran. Kebohongan jenis ini beredar luas di vi masyarakat masa kini, sehingga batas antara kejujuran dan kebohongan menjadi abu-abu. Alasan mengapa kita harus berbohong juga tidak jelas lagi. Masih dalam artikel yang ditulis oleh Melissa Hogenboom itu, permainan kebenaran juga sering menjadi senjata bagi para politisi. Cara itu digunakan baik dalam acara debat maupun talkshow di media massa, maupun saat dikejar oleh masyarakat dalam memenuhi janji kampanyenya. Mereka selalu menutupi kegagalannya dalam merealisasikan program atau janji kampanye dengan mengalihkan pembicaraan berdasar fakta yang lain. Kebohongan yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan tentunya memiliki dampak yang berbeda dengan kebohongan yang dilakukan oleh orang kecil. Seorang warga desa biasa paling-paling hanya berani membohongi istrinya atau satu-dua tetangganya. Akan tetapi, saat kebohongan yang dilakukan oleh penguasa, semua warga akan menjadi korban kebohongannya. Apalagi jika kebohongan-kebohongan itu disebarluaskan melalui media massa. Pada musim kampanye, misalnya, media massa selalu menulis tentang program-program yang dijanjikan oleh para calon penguasa, yang tentunya tidak semuanya terealisasi, namun terlanjur mempengaruhi para pemilihnya. Dari zaman baheula, misalnya, seorang calon Gubernur di DKI Jakarta selalu menjanjikan program untuk mengatasi banjir dan kemacetan lalu lintas. Dua hal itu memang menjadi masalah yang menjadi terror bagi warga Jakarta. Akan tetapi, berulangkali berganti gubernur, Jakarta tetap saja macet. Media massa tentunya tidak bermaksud untuk ‘bersekongkol’ melakukan kebohongan publik. Mereka hanya menyajikan sebuah realitas, dalam konteks ini adalah ucapanucapan politisi maupun penguasa yang selalu saja menarik perhatian publik. Kebohongan demikian merupakan sebuah risiko, sekaligus “bisa dimaafkan” (forgivable), karena masih dalam konteks jurnalisme. Dunia pemberitaan media massa memiliki rumusan tersendiri: berita adalah rekonstruksi peristiwa melalui simbol, kata-kata dan/atau gambar. Akan tetapi, seharusnya hal ini bukan menjadi alasan bagi media massa untuk melepas tanggung jawab. Mereka perlu melakukan pengawalan terhadap apa-apa yang pernah ditulisnya. Kecuali, mereka siap untuk mendapat predikat memfasilitasi sebuah kebohongan. Apalagi dewasa ini masyarakat memperoleh pasokan infomasi bukan hanya dari media massa mnelainkan juga dari media sosial. Untuk vii perkara kecepatan informasi, media massa tentu ngos-ngosan jika harus bersaing dengan media sosial. Kesahihan informasi harusnya menjadi andalan bagi media massa agar bisa terus bertahan. Orang-orang bijak di Jawa mengingatkan, aja gumunan aja kagetan. Artinya, orang tidak boleh terlalu mudah kagum dan terkejut. Dalam beberapa kasus, media massa di Indonesia justru terlihat mengalami dua hal itu. Masih hangat mencuatnya nama Dwi Hartanto yang namanya dilambungkan oleh media massa sebagai ahli roket. Bahkan, media menyematkan predikat terhadap Dwi sebagai the next Habibie. Media massa merasa kagum dan kaget mendengar pengakuan Dwi Hartanto mengenai prestasinya yang belakangan diakuinya sebagai kebohongan. Media juga sempat kaget dengan kemunculan mobil Esemka yang disebut-sebut sebagai buatan murid-murid Sekolah Menengah Kejuruan. Kehadiran mobil itu dianggap menjadi tonggak kebangkitan otomotif di Indonesia. Hingga saat ini, tidak ada kabar mengenai kelanjutan produksi mobil itu. Disiplin verifikasi merupakan hal yang penting bagi media untuk terhindar dari pasokan informasi bohong. Tentu saja etika juga harus dikedepankan untuk menjamin bahwa media tidak melakukannya dengan kesadaran. Di luar itu, ilmu logika menjadi filter yang sangat kuat. Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln pernah mengatakan bahwa ”tidak ada manusia yang sanggup mengingat dengan baik untuk bisa menjadi pembohong yang sukses.'' Berbohong itu sangat sulit lantaran membutuhkan sesuatu yang masuk akal dan konsisten. Ilmu logika bisa menjadi senjata ampuh dalam mengendus informasi palsu maupun dipalsukan. Buku ini meski saya yakin jauh dari sempurna, berusaha menemukan titik korelasi dan solusi antara benang ruwet politisi, media massa dan kebohongan. Semoga buku ini bermakna ! |
|||
Tahun | : | 2018 | Media Publikasi | : | Buku |
Kategori | : | Buku | No/Vol/Tahun | : | 1 / - / 2018 |
ISSN/ISBN | : | 978-602-397-209-8 | |||
PTN/S | : | Universitas Pakuan | Program Studi | : | ILMU HUKUM |
Bibliography | : | A. Rahman Ritonga. 2005. Akhlak (Merakit Hubungan dengan Sesama Manusia. Surabaya: Amelia Surabaya. A. Tabrani Rusyan. 2006. Pendidikan Budi Pekerti.Jakarta: Inti Media Cipta Nusantara. Adhi Iman Sulaiman. Dilema Elite Politik dan Kekuatan Media Massa. Jurnal MIMBAR, Vol. XXVI, No. 2 (Desember 2010): 115-121. Ahmad Mudjib Mahalli. 2003. Hadis-Hadis Muttafaq, Alaih: Bagian Ibadat, Jakarta: Kencana. Artidjo Alkostar. Korelasi Korupsi Politik Dengan Hukum dan Pemerintahan di Negara Modern (Telaah tentang Praktik Korupsi Politik dan Penanggulangannya). Jurnal Hukum. No. Edisi Khusus Vol. 16 Oktober 2009: 155 – 179. Barda Nawawi Arief. 2001. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti. Buller, D and Burgon, J. 1996. Interpesonal Deception Theory (Communication Theory). Published: http://students.usm.maine.edu/ dalam Erik Saut Hatoguan Hutahaean. Kecenderungan Berbohong, Sasaran Kebohongan Dan Perbedaannya Berdasarkan Jenis Kelamin. Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek & Sipil). Vol 2 Agustus 2007. Choiruddin Hadhiri. 1994. Klasifikasi Kandungan Al-Qur‟an. Jakarta: Gema Insani Press. Didiek Ahmad Supadie, dkk. 2012. Pengantar Studi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Edi Nasution.Artikel. “Perselingkuhan Antara Politik Dan Uang (Money Politic) Menciderai Sistem Demokrasi”. Filmon Hasrin. Perihal Janji Politik dan Kebohongan. 2017. http://voxntt.com/2017/09/06/perihal-janji-politik-dankebohongan/ Gabriel A. Almond, Sidney Verba. 1990. Budaya Politik: Tingkah laku politikdan Demokrasi di Lima Negara. Jakarta: Bumi Aksara |
|||
URL | : | https://repository.unpak.ac.id/index.php?p=detail&id_karya=2856 |